Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teror dengan Senjata Seadanya Bukan Hal Baru

Setidaknya lima orang tewas termasuk seorang polisi dan pelaku dalam serangan teror yang terjadi di London pada Rabu sore (22/3) 
Jakarta -- Serangan teror di dekat parlemen London pada Rabu (22/3) dimulai saat sebuah mobil menabrak para pejalan kaki di Jembatan Westminster. Tiga orang tewas akibat tabrakan itu, pelaku kemudian turun dari mobil dan menikam seorang polisi hingga tewas.

Total, lima orang tewas termasuk pelaku yang ditembak polisi, sementara 40 orang lainnya terluka.

Pengamat mengatakan bahwa serangan ini sekali lagi membuktikan bahwa aksi teror tak memerlukan senjata atau tekonologi canggih.

“Ini konsepnya sudah dari dulu. Salah satunya digunakan oleh kelompok ISIS seperti yang diperintahkan pemimpinnya. Kami menyebutnya primitive rebel, mereka menggunakan senjata ala kadar yang ternyata sangat ditakuti oleh budaya Barat. Pisau dapur atau truk kan tidak diduga bisa menjadi alat pembunuh,” kata pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Al Chaidar ketika dihubungi Kamis (23/3).

Taktik serangan terbaru di London ini, serupa dengan yang terjadi pada Mei 2013 silam, ketika dua penyerang menewaskan seorang tentara, Lee Rigby. Michael Adebolajo dan Michael Adebowale awalnya menabrak Rigby dengan mobil, lalu kemudian menikamnya dengan pisau. Mereka bahkan berupaya untuk memenggal Rigby. Keduanya divonis pada Desember 2013 dengan hukuman penjara seumur hidup.


Sementara itu, ada lebih dari 20 insiden teror besar dengan menggunakan mobil di seluruh dunia sejak 1995. Yang terburuk terjadi di Nice, Perancis tahun lalu. Saat itu, setidaknya 84 orang termasuk 10 anak-anak tewas ketika sebuah truk menabrakkan diri ke keramaian orang yang sedang merayakan hari nasional Perancis yang biasa disebut Bastille Day. Pengamat langsung memperingatkan bahwa teror dengan modus serupa bisa jadi akan diikuti oleh jaringan teror lain tak hanya di Perancis, namun di seluruh dunia.

Menyusul itu, pada Desember 2016, setidaknya 12 orang tewas dan hampir 50 orang terluka ketika sebuah truk menabrak pasar Natal di Berlin, Jerman.

Sebelumnya pada Desember 2014, seorang pria di Dijon, Perancis, menabrak 11 orang, dua di antaranya terluka parah. Sehari kemudian, insiden serupa kembali terjadi di Nantes, saat seorang pria menabrak 10 orang pejalan kaki, menewaskan satu orang. Enam bulan setelahnya, pada Juni 2015, seorang pria di Lyon menerobos gerbang dan menabrakkan truk ke pabrik gas.

“Ketika senjata-senjata kimia, dengan perangkat elektronik canggih dicurigai dan dipersulit, maka mereka [kelompok teror] kesulitan sumber daya untuk perang. Jadi mereka mengubahnya. Pisau dan mobil, selain gampang, ini tidak terduga dan tidak terpantau,” ujar Chaidar.

Lebih jauh, serangan dengan senjata seadanya ini, menurut pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail, juga sudah terjadi di Indonesia.

"Saya shock, tapi tidak kaget.  Ini kan sudah terjadi di Paris, Brussels,  Berlin, dan Inggris. Di Indonesia, itu juga sudah terjadi, seperti insiden bom panci di Bandung," kata Huda. "Fatwa dari juru bicara ISIS Abu Muhammad al-Adnani sebelum dia tewas, spesifik. Gunakan pisau, batu, apa saja untuk menyerang orang yang menentang khilafah." 

Adnani tewas di Suriah pada Agustus 2016, namun sebelumnya ia gencar meyerukan pengikut ISIS untuk melakukan serangan sendiri (lone wolf).

Sementara itu, Huda mengingatkan lebih dari 460 warga Indonesia yang ingin ke Suriah via Turki sudah dideportasi, namun tak ada tindak lanjut dari pemerintah. Padahal menurut dia, Indonesia semestinya punya program sistematis untuk mencegah serangan serupa terjadi di tanah air.

"Mereka yang dideportasi setelah pulang diinterogasi, diserahkan ke Kementerian Sosial, lalu kemudian dipulangkan. Padahal banyak dari mereka sebelum berangkat sudah menjual rumah. Lalu mereka mau apa?" ujarnya. "Ini [serangan di London] menjadi refleksi bagi Indonesia. Yang paling penting, bagaimana menyetopnya?" 
 
 
 
 
 
 Sumber : cnnindonesia.com