Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

JAMIN HAK KEBEBASAN BERAGAMA, BUPATI PURWAKARTA TERIMA PENGHARGAAN KOMNAS HAM

Bupati Purwakarta (pakaian putih) Dedi Mulyadi mengeluarkan surat edaran Nomor 450/2621/Kesra tentang Jaminan Melaksanakan Ibadah Berdasarkan Keyakinan.   

Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberikan penghargaan kepada Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, atas perannya dalam perlindungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di wilayah yang dipimpinnya.

Penghargaan yang diberikan dalam Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jakarta, Selasa (23/02), muncul di tengah laporan Komnas HAM bahwa pemerintah kabupaten/kota adalah pelaku yang paling banyak diadukan melakukan dugaan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Jayadi Damanik, selaku koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, mengatakan aksi Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, justru melawan fenomena yang terjadi di Indonesia.

“Kecenderungan saat ini, pemerintah daerah mengikuti apa yang diinginkan kelompok intoleran. Apalagi, pejabat daerah membawa-bawa agama atau keyakinannya dalam rangka pelayanan publik. Padahal, bupati Purwakarta itu nggak ada agamanya. Yang ada agamanya, Dedi Mulyadi,” kata Jayadi.

Dalam penilaian Komnas HAM, Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, mampu menerjemahkan nilai toleransi ke dalam ranah kebijakan. Pada November 2015 lalu, dia mengeluarkan surat edaran Nomor 450/2621/Kesra tentang Jaminan Melaksanakan Ibadah Berdasarkan Keyakinan.

Dedi mengatakan siapa pun di Purwakarta tak boleh mengganggu keyakinan seseorang dengan catatan ritual keagamaan orang itu tidak mengganggu ketertiban umum.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi membentuk Satuan Tugas Toleransi dan sekolah ideologi.
Kehadiran negara

Surat edaran yang menjamin pelaksanaan ibadah seseorang itu berbanding terbalik dengan Peraturan Gubernur Jawa Barat nomor 12 tahun 2011 tentang larangan kegiatan jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat.

Lalu bagaimana sikap Dedi?

“Ya makanya sudut pandang persoalan toleransi itu jangan dari sudut pandang politik. Kalau sudut pandang politik, kita akan mencari dukungan politik yang berdampak pada kenyamanan kita memimpin. Tidak semua pemimpin yang merasa tahan dengan berbagai tekanan. Paradigma konstitusi adalah paradigma yang seharusnya dibangun dalam memimpin,” ujarnya.

Negara, imbuh Dedi, harus mampu menjamin kebebasan beragama rakyat dan bukan sebaliknya. Karena itu, dia mengaku kecewa ketika Jawa Barat menempati peringkat teratas dalam daftar pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dikeluarkan Komnas HAM.

“Hati saya tersayat karena orang Sunda adalah orang yang paling toleran. Seluruh suku bisa hidup di Jawa Barat, artinya nggak ada problem. Yang muncul sekarang adalah pemahaman-pemahaman baru yang mempengaruhi pikiran sebagian kecil masyarakat Jawa Barat. Pemahaman-pemahaman itu dibawa, mohon maaf, aktornya bukan orang asli Jawa Barat,” ujarnya.
 Larangan kegiatan jemaat Ahmadiyah Indonesia bermunculan di sejumlah kabupaten di Jawa Barat.
Satgas toleransi
Dedi mengatakan dirinya akan terus mengupayakan kebebasan beragama di Kabupaten Purwakarta dengan beragam cara, termasuk membentuk Satuan Tugas Toleransi yang bakal menghadapi massa intoleran.

Satgas Toleransi ini terdiri dari berbagai elemen pendukung di antaranya pegawai Pemda, TNI/Polri, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.

”Menghadapi massa intoleran, jangan dipertemukan dengan kalangan akademisi. Bisa-bisa kalangan akademisi yang punya alasan-alasan logis, babak belur. Untuk itu, ada Satgas Toleransi yang berbadan tegap dan dilatih. Di balik masyarakat sipil yang menentang toleransi, ada masyarakat sipil yang mendukung toleransi dan terdidik secara akademis. Negara tidak boleh takut pada premanisme,” kata Dedi.

Selain membentuk Satgas Toleransi, Dedi mendirikan sekolah ideologi.

"Setiap minggu anak-anak muda dididik tentang pemahaman Pancasila, konstitusi, termasuk sudut-sudut pandang dalam mazhab agama. Ini bagian dari menyiapkan generasi ke depan untuk menjadi generasi yang toleran,” katanya.

Dalam laporannya, Komnas HAM menyebut Jemaah Ahmadiyah sebagai pihak yang paling sering menjadi korban pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan 17 kasus dari 93 kasus. Adapun Jawa Barat menempati peringkat teratas dalam daftar pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan berdasarkan sebaran wilayah peristiwa dengan 20 kasus dari 87 kasus.




Sumber :bbcindonesia.com