HUKUM PENGEBIRIAN DIDUKUNG PRESIDEN MENUAI KRITIT PEGIAT HAM
![]() |
Foto yang diambil pada 24 April 2014 ini menunjukkan seorang anak perempuan usia 6 tahun asal Banda Aceh yang diduga menjadi korban kekerasan seksual. |
Pemerintah
Indonesia merencakan hukuman pengebirian bagi pelaku kejahatan seksual
terhadap anak lewat penyusunan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu).
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa
menjelaskan bahwa pemerintah menganggap perlu pola penanganganan dan
hukuman yang memberi efek jera.
"Saat dibahas di rapat terbatas, ternyata presiden menyetujui adanya punishment yang bisa menjadi shock therapy supaya tidak terulang lagi. Paling tidak, pertama, shock therapy, kedua penyelamatan dan perlindungan anak-anak Indonesia," jelas Khofifah dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia.
"Berikutnya, kalau dapat shock therapy,
pelaku tidak akan menjadi residivis predator, tidak akan melahirkan
korban-korban baru. Para calon pelaku pun akan berhitung, berpikir lagi,
bahwa nanti mereka akan mendapat hukuman yang sama."
Seusai rapat
terbatas yang berlangsung Selasa (20/10) pemerintah, menurut Khofifah,
masih menyiapkan peraturan yang mengatur pemberatan hukuman dalam bentuk
pengebirian terhadap pelaku pedofilia tersebut.
Khofifah
mengatakan pemerintah boleh menyediakan perpu dalam keadaan kedaruratan
atau kegentingan dan dalam pandangannya, kasus-kasus kekerasan seksual
terhadap anak sudah darurat.
Pengajuan perppu, menurut Khofifah, "sudah menjadi keputusan presiden".
Kategori predator
"Teknisnya
belum. Di rapat terbatas ada Jaksa Agung, ada Kapolri, ada Menkes,
sekarang lagi proses penyiapan perppu. Apakah nanti polanya seperti di
Jerman, bedah saraf libido, atau format seperti di Korea Selatan,
Australia, Inggris, menyuntik saraf libidonya, pembahasan format itu
belum sampai detil," kata Khofifah.
Khofifah menambahkan rancangan
perppu akan memberi penjelasan secara terperinci tentang kategori
predator yang bisa mendapat hukuman pengebirian karena saat ini belum
ada ukurannya, dengan target selesai pada masa persidangan DPR tahun
ini.
![]() |
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pelaku kekerasan seksual jarang mendapat hukuman maksimal 15 tahun penjara karena pembuktian yang tidak optimal di persidangan. |
Saat ditanya tentang bagaimana pemerintah bisa
menjamin pemberlakuan hukuman ini bisa memberi efek terapi kejut yang
diinginkan, Khofifah menjawab, "Ini kan bukan barang baru, di Jerman
sejak zaman Nazi, Inggris, Australia, Denmark, Korsel, negara-negara itu
memberlakukan regulasi seperti ini pasti sudah dengan berbagai
pertimbangan-pertimbangan, apakah perlindungan anak, jadi shock therapy, pembelajaran, bagi pelaku kekerasan."
Rencana ini didukung oleh Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Asrorun Niam Soleh, yang juga hadir dalam rapat terbatas.
"Arahan
presiden jelas, dalam rapat terbatas, adalah tolong berikan solusi yang
radikal dan cukup memberi goncangan agar pelaku itu jera, dan kalau
perlu dengan hukuman yang sangat keras, tidak hanya bagi pelaku
kekerasan seksual, termasuk juga, misalnya, warning terhadap sekolah yang melakukan pembiaran terhadap tindak kekerasan di sekolah."
"Ini
cara berpikir yang radikal karena kondisi kekerasan dan kejahatan pada
anak sudah demikian eskalatif dengan modus yang beragam," ujar Asrorun.
Jaminan hukuman berat?
Undang-undang
Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 sudah mengatur hukuman 15 tahun
pernjara bagi pelaku kekerasan, namun, Asrorun mengakui, para pelaku
banyak yang tidak dijatuhi hukuman 15 tahun karena faktor pembuktian
yang tidak optimal, sehingga hal ini tidak memberi efek jera.
Bagaimanapun rencana hukuman pengebirian ini dipertanyakan oleh pegiat HAM Haris Azhar dari Kontras.
"Salah
kaprah, yang dilakukan si pemerkosa memang tindakan kejam, biadab, tapi
kan cara kita menangani bukan dengan si pemerkosa dikebiri. Kok
kedengarannya itu membalas kekejaman dengan kekejaman juga, pengebirian
itu kan suatu hal yang kejam.
Kalau itu ditempatkan sebagai hukuman, apa
bedanya dengan peristiwa itu sendiri?"
Haris menyarankan
pemerintah seharusnya melihat lagi seperti apa hukuman yang pernah
diterapkan pada peristiwa-peristiwa kekerasan seksual terhadap anak.
"Apakah
hukuman itu sudah bisa memberikan pemulihan situasi? Kok terulang lagi,
kok terulang lagi. Jangan-jangan bukan soal hukumannya berat atau
tidak, tapi hanya menyasar pada pelaku, padahal ada faktor-faktor lain
yang harus diperbaiki," katanya.
Penegakan hukum, menurutnya, tak bisa hanya dengan menakut-nakuti dan membebankan kesalahan hanya pada pelaku.
Dan
pemerintah juga harus melakukan langkah pencegahan, termasuk memastikan
keamanan jalur pulang pergi serta fasilitas umum anak-anak maupun
memastikan patroli polisi terjadi sehingga anak-anak bisa aman 24 jam.
Sumber: bbc.com
Image copyright
Getty