Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BELAJAR DARI KRISIS MALAYSIA, EKONOM MINTA JOKOWI HAT-HATI

Presiden Jokowi Hormat pada Upacara Perayaan HUT RI di Istana Negara. (Reuters/Beawiharta)
Anton H. Gunawan, Advisor di Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG), meminta pemerintah dan Bank Indonesia berhati-hati dalam menyikapi gejolak pasar uang agar tidak ekonomi nasional tidak terjerambab terlalu dalam seperti Malaysia.

"Yang harus kita bangun bahwa Rupiah tidak akan mendadak merosot banyak, di antaranya dengan intervensi. Tapi intervensi juga harus hati-hati jangan sampai seperti kayak malaysia waktu itu," ujar Anton usai diskusi dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Senin (31/8).
Struktur ekonomi Indonesia dan Malaysia, kata Anton, memiliki kemiripan, antara lain keduanya sama-sama mengandalkan perdagangan komoditas yang harganya tengah jatuh pada saat ini. Selain itu, kedua negara serumpun ini juga punya ketergantungan yang tinggi terhadap modal asing, terutama di pasar obligasi.

"Cuma kita lebih bagus, relatif ya, cadangan devisa kita masih di US$ 107 miliar, sedangkan mereka (Malaysia) sudah turun sampai US$ 87 miliar dari US$ 140-an miliar," tuturnya.

Faktor pembeda utama saat ini, lanjut Anton, kondisi politik di Malaysia yang tengah memanas. Sedangkan di Indonesia, situasi politik dinilainya masih terkendali.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik di Universitas Gadjah Mada, A. Tony Prasetiantono  menyarankan agar pemerintah menjajakan obligasi konvensional dan syariah ke mitra-mitra strategis. Langkah ini diharapkan bisa menyerap masuk dolar Amerika Serikat (AS) sehingga depresiasi rupiah bisa diredam.

Dia mencontohkan Timur Tengah sebagai pasar potensial obligasi syariah atau sukuk. Lalu negara-negara Asia Timur seperti China dan Korea Selatan juga lokasi yang potensial untuk menawarkan obligasi konvensional.

"Itu yang akan menyebabkan capital inflow. Rasanya itu akan cukup membantu kita," tuturnya.

Langkah ini, jelas Tony, merupakan strategi jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan arus masuk modal ke dalam negeri. Peluang itu cukup besar, kata Tony, mengingat pasar AS mulai mendekati titik jenuh sehingga ada potensi pembalikan dolar ke luar.

"Indeks harga saham New York turun sekarang tinggal 16.400, pernah 18.300. Jadi turun 2000. Artinya mereka pun jenuh juga memegang dolar dan ditaruh di Amerika. Itu sinyal yang harus kita tangkap," jelasnya. 




Sumber: cnnindonesia.com